Indonesia Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Kehidupan Politik Keraja - Sunda: Pulitik, Sosial, Ékonomi jeung Budaya Kahirupan Pulitik Kara
Berita tentang kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat setelah kerajaan Tarumanegara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Kerajaan Sunda yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat merupakan kerajaan yang bercorak Hindu cukup kuat dan sedikit menerima pengaruh Buddha. Dalam Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebut sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda. Pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh. Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Raja Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil bernama Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan tersebut diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat menjadi bagian dari kerajaan Galuh. Hal yang menarik dari isi Carita Parahyangan ini adalah nama Sena dan Sanjaya. Dua nama ini tercantum juga dalam prasati Canggal 732 M, yang menceritakan asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Lama. Dalam prasasti Canggal selain tercantum nama Sanjaya disebutkan juga adanya dua tokoh yaitu, Sanna dan Sanaha. Sanjaya adalah anak Sanaha. Membandingkan isi Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, kemungkinan Sanjaya adalah orang yang sama, sedangkan Sanaha dalam prasasti Canggal, kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan. Dengan demikian, di Jawa Barat pada masa itu ada kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya Sanjaya. Prasasti Sahyang Tapak 1030, merupakan sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat. Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dan berbahasa Jawa Kuno, berhuruf kawi. Dalam prasasti ini disebutkan tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati Jayamanahen, Wisnumurti amararijaya, Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramatunggadewa. Raja ini dianggap sebagai rangkaian dari raja-raja Sunda sebelumnya. Sri Jayabhupati adalah raja Sunda yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Pajajaran. Dia beragama Hindu aliran Waisnawa. Hal ini dapat terlihat dari gelarnya Wisnumurti. Diperkirakan, pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari Galuh ke Pakuan Pajajaran di Jawa Barat bagian tengah. Setelah raja Jayabhupati wafat, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi ke Kawali Ciamis. Pusat kerajaan pindah ke Kawali, pada masa Raja Rahyang Niskala Wastu Kencana yang menggantikan Sri Jayabhupati. Ia mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya. Rahyang Niskala Wastu Kencana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan penggantinya Rahyang Dewa Niskala Rahyang Ningrat Kancana dimakamkan di Gunung Tiga. Menurut Kitab Pararaton dan Carita Parahyangan, Rahyang Dewa Niskala digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Raja ini meninggal setelah tujuh tahun memerintah karena tewas dalam peristiwa Bubat pada tahun 1357, setelah Sri Baduga menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Setelah Sri Baduga, kerajaan Sunda selanjutnya diperintah oleh, Hyang Bunisora 1357-1371, Prabu Niskala Wastu Kencana 1371-1374, digantikan oleh anaknya Tohaan di Galuh 1475-1482, Ratu Jayadewata 1482-1521. Pada masa pemerintahan Ratu Jayadewata yang menurut prasasti Batutulis memerintah di ibu kota lama Pakuan Pajajaran, Kerajaan Sunda mulai terancam oleh orang-orang yang tidak setia pada kerajaan. Mereka adalah penduduk pajajaran yang mulai menganut Islam, terutama yang tinggal di pesisir utara. Banten dan Cirebon telah berubah menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang Islam. Merasa khawatir dengan perkembangan baru di pesisir utara, Ratu Jayadewata mengutus Ratu Samiam ke Malaka untuk meminta bantuan pasukan Portugis memerangi orang-orang Islam. Hal ini ditegaskan dalam berita Portugis bahwa pada tahun 1512 dan 1521 datang utusan dari kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Ratu Samiam. Ratu Samiam dalam berita Portugis ini sama dengan Prabu Surawisesa dalam Carita Parahyangan. Prabu Surawisesa menjadi raja dan memerintah tahun 1521-1535. a. Kehidupan politik Kerajaan Sunda Sumber sejarah yang penting dalam sejarah tatar sunda adalah Carita Parahyangan yang merupakan sumber yang berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Di dalam carita parahyangan ini diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebutkan pula sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda yang dipertuan di Sunda. Diceritakan pula bahwa pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari Raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Namun setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh. Kerajaan ini terletak di sebelah barat sungai Citarum. Pada sumber prasasti yang ditemukan di Sukabumi, tercantum nama Sri Jayabuphati yang merupakan salah satu raja Sunda. Jayabhupati adalah Raja Sunda yang beragama Hindu dan pusat kekuasaannya terletak di Pakuan Pajajaran. Penggantinya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana memindahkan kerajaannya ke Kawali Ciamis sekarang dia tinggal di keraton yang bernama Surawisesa. Rahyang Ningrat mengantikan ayahnya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana yang dilanjutkan kemudian oleh Sri Baduga. Pada masa Sri Baduga terjadi peristiwa besar yaitu perang Bubat yang membuat beliau, putrinya, serta utusan yang ikut serta ke Majapahit tewas. Dengan meninggalnya Sri Baduga, maka pemerintahan dipegang oleh Hyang Bunisora 1357-1371. Bunisora digantikan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana yang memerintah hampir 100 tahun lamanya yaitu dari 1371-1474. Pada masa kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Surawisesa, agama Islam mulai berkembang di Cirebon dan Banten. Hal tersebut membuat Prabu berusaha mencari sekutu untuk memperkuat kedudukannya melawan Islam. Kemudian dia bersekutu dengan Portugis yang sudah berhasil menguasai Malaka. Tindakan tersebut membuat kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggono harus mengambil tindakan untuk menghentikan pengaruh Portugis di Jawa. Oleh karena itu, beliau memerintahkan menantunya yaitu Fatahillah atau dipanggil juga Wong Agung untuk menyerang Portugis di Sunda Kalapa dan menguasai pelabuhan tersebut. Hal itu akan berdampak politik, karena akan semakin membuat Kerajaan Sunda menjadi terisolir dan menghambat atau mungkin menghancurkan kekuatan Portugis yang hendak menguasai Jawa. Sebelum menguasai Sunda Kalapa, pasukan Demak dan Banten mulai menaklukkan daerah-daerah sekitar Banten dan Sunda Kalapa. Pada pertempuran di Sunda Kalapa antara Demak dan Portugis, Pasukan Fatahillah berhasil menghancurkan Portugis. Lalu, Fatahillah mengubah kota Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Pada masa Raja Nuisya Mulya, Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam, sehingga berakhirlah Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang besar, sampai Majapahit pun sulit dan tidak bisa untuk menaklukannya. b. Kehidupan ekonomi dan sosial budaya Kerajaan Sunda Berdasarkan berita yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Sunda dapat digambarkan. Menurut berita tersebut, ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur, Makassar. Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik. Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindah-pindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah. Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet. Demikianlah Materi Sejarah Kerajaan Sunda Politik Ekonomi dan Sosial Budaya, semoga bermanfaat. Kepemimpinankerajaan Sunda lebih terfokus pada penataan masyarakat ke dalam, bukan penaklukan keluar wilayah. "Kekuatan besar yang mampu menjatuhkan masyarakat itu tidak ada di Sunda, sehingga satuan politiknya lebih bersifat lokal," tutur Budi. Hingga saat ini, representasi politik Sunda masih rendah secara nasional. Di wilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Prasasti dan Kitab tentang Kerajaan Sunda Dalam Prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam Kitab Carita Parahyangan, dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh Sekarang Ciamis. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di Galuh. Beberapa waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya Rahyang Tamperan. Sampai sekarang para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya di dalam Prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya di dalam kitab Carita Parahyangan. Kehidupan Politik Kerajaan Sunda Dalam waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke-11 1030 ketika di bawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Jayabhupati terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang di tepi sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka 1030 M, berbahasa Jawa kuno, dengan huruf Kawi. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwanamandalesrananindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sunda. Prasasti Sanghyang Tapan juga berisi pembuatan daerah terlarang di sebelah timur Sanghyang Tapak Daerah itu berupa sebagian dari sungai, yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa Kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Ia terkena kutukan yang mengerikan, yakni akan terbelah kepalanya, terminum darahnya dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya, mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidak punah. Berdasarkan gelar yang digunakannya, menunjukkan adanya kesamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu, masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun, Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Dengan demikian jelas, bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan Airlangga. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhuptai, pusat kerajaan Sunda ialah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi tidak lama kemudian pusat kerajaanya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat dengan Galuh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa Sanjaya. Agama yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Waisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya yaitu Wisnumurti Agama yang sama juga dianut oleh Airlangga. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu Waisnawa. Setelah masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda bersama para pengiringnya datang ke Majaphit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda takluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksanakan kehendaknya, sebab Kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk di bawak kekuasaan Majapahit. Ini berarti, Sumpah Palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, Raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Sunda. Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajah Mada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan pengiringnya membuat Raja Hayam Wuruk merah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Maha Patih Majapahit, sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada retak. Prabu Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Niskala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi peristiwa Bubat, Wastu Kancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit, karena itu selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastu Kancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357-1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memerhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai dengan undang-undang, dan taat pada agamanya. Oleh karenanya, kerajaan aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371-1471. Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471-1478. Setelah itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482-1521. Pada prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra Ningrat Kancana. Di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit di sekeliling ibukota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tenteram dan sejahtera. Sang Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada di bawah kekuasaan Portugis. Salinan gambar prasasti Batu Tulis dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor Pada tahun 1522, perutusan Portugis di bawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahli sama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521 -1535. Jika hal itu benar, pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa Ratu Samiam masih putra mahkota. Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam, di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentara Islam berusaha merebut ibukota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu persatu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten, sehingga raja Sunda terpaksa bertahan di pedalaman. Prabu Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535 -1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan kitab Purwaka Caruban Nagari, berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut, dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam, jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Islam. Ratu Dewata kemudian digantikan oleh Sang Ratu Saksi 1543-1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi, kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551-1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir kerajaan Sunda ialah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten, dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kehidupan Sosial Ekonomi Kerajaan Sunda Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut 1. Kelompok Rohani dan Cendekiawan Kerajaan Sunda Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita pantun. 2. Kelompok Aparat Pemerintah Kerajaan Sunda Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, hulu jurit kepala prajurit. 3. Kelompok Ekonomi Kerajaan Sunda Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya, juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan. Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhanpelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan. Di samping kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya, pahuma paladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini menjadi salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan Sunda. Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sriwijaya Kehidupan Budaya Kerajaan Sunda Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang, sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat. Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tulis maupun lisan. Bentuk sastra tulis, misalnya Carita Parahyangan; sedangkan bentuk satra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Siliwangi. Anda telah membaca artikel tentang "Kehidupan Masyarakat Kerajaan Sunda" yang telah dipublikasikan oleh Ruang Pintar. Semoga menambah wawasan dan bermanfaat. MengenalKerajaan Sunda lebih dalam. Setelah berkilas balik tentang berdirinya kerajaan di tanah Sunda, mari kita mengintip bagaimana kehidupan dalam berbagai aspek di Kerajaan Sunda. 1. Kehidupan politik dan militer. Pemerintahan era lampau tidak lepas dari kata kerajaan. Diwilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Dalam prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Kitab Carita Parahyangan dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke gunung Merapi beserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya, Rahyang Tamperan. Sampai sekarang, para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya didalam prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya didalam Kitab Carita waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke 11 1030 ketika dibawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Bhupati terdapat pada prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang ditepi sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini berangka tahun 952 Saka 1030 M, berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Maharaja Sri Bhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwana Mandalesrananindhita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sanghyang Tapak juga berisi pembuatan daerah terlarangan disebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah ini berupa sebagian dari sungai yang ditandai dengan batu besar dibagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Didaerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Orang yang terkena kutukan sangat mengerikan karena akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidak gelar yang digunakannya menunjukkan ada kesamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa diantara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Demikian jelas bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan masa pemerintahan Sri Jayabhupati, pusar kerajaan Sunda adalah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi, tidak lama kemudian pusat kerajaannya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat dengan Galuh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Haisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya, yaitu Wisnumurti, agama yang sama dianut oleh Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di Kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh raja Majapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda beserta para pengiringnya datang ke Majapahit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda makhluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksakan kehendaknya, sebab kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti, sumpah palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajahmada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama putrinya Dyah Pitaloka dan pengiringnya terbunuh. Kematian raja Sunda dan calon istrinya membuat Raja Hayam Wuruk marah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Mahapatih Majapahit. Sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Nsikala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi perang Bubat, Wastukancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit sehingga selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastukancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357 – 1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai dengan undang-undang dan taat pada agamanya. Oleh karena itu, kerajaannya aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371 – 1471.Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471 – 1478. Setelah itu, kerajaan Sunda berada dibawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482 – 1521. Pada prasasti kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batu Tulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Dibawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit disekeliling ibu kota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tentram dan Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada dibawah kekuasaan tahun 1522, perutusan Portugis dibawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada dibawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahli sama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521 – 1535. Jika hal itu benar maka pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa masih menjadi putra masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentara Islam berusaha merebut ibukota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu per satu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten sehingga Raja Sunda terpaksa bertahan di Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535 – 1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan Kitab Puwaka Caruban Nagari yang berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut, dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Dewata kemudian diganti oleh Sang Ratu Saksi 1543 – 1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551 – 1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir kerajaan Sunda adalah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Sosial EkonomiBerdasarkan Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai rohani dan cendekiawanKelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan dibidang tertentu. Misalnya, Brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, Janggan yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita aparat pemerintahKelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya Bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, dan hulu jurit kepala prajurit.Kelompok ekonomiKelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan.Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapat perhatian. Meskipun pusat kekuasaan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya pahuma peladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini merupakan salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan bertani, kehidupan masyarakat kerajaan Sunda juga berdagang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya enam buah kota bandar yang cukup penting dan ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai daerah atau bangsa lain. Melalui ke enam bandar tersebut, dilakukan usaha perdagangan dengan pihak BudayaKehidupan masyarakat kerajaan Sunda adalah peladang sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi, dan prasasti. Candi yang paling dikenal dari kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa budaya masyarakat kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tertulis maupun lisan. Bentuk sastra tertulis misalnya kitab Carita Parahyangan, sedangkan bentuk sastra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Dwi Ari. 2009. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Quiperrian itulah tadi pembahasan sejarah tentang kerajaan Sunda tentang peninggalan, letak (geografis), prasasti, pendiri, raja, masa kejayaan, silsilah kerajaan, sistem pemerintahan, kehidupan politik, kehidupan ekonomi, dan masa keruntuhan. Belajar sejarah itu sebenarnya asyik kok, asalkan penyampaian materinya juga menyenangkan. Representasi kehidupan orang Sunda dalam drama “Tukang Asahan” karya alm. Wahyu Wibisana dalam acara Pidangan Budaya Rumawat Padjadjaran di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, 30 April 2012. Foto Tedi Yusup* [ Representasi politik Sunda di tingkat nasional cenderung rendah jika dibandingkan dengan wilayah Jawa bagian tengah dan timur. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pola masyarakat Sunda dengan Jawa yang sudah tercirikan sejak zaman dahulu. Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran Dr. Budi Rajab, menjelaskan, struktur masyarakat Jawa bagian tengah dan timur cenderung memusat. Salah satu yang melatarbelakanginya adalah pola mata pencaharian masyarakat yang cenderung sebagai petani di sawah. “Masyarakat petani sawah dalam satuan politik masyarakat dunia biasanya muncul satu kekuatan besar yang menyatukan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur kita mengenal kerajaan besar Mataram Kuno sampai Majapahit,” kata Budi dalam Webinar Politik Sunda Relasi Kuasa dan Kepemimpinan yang digelar Pusat Studi Politik dan Demokrasi Unpad, Senin 10/5 lalu. Budi menuturkan, ciri masyarakat persawahan adalah mampu terkonsentrasi sehingga bisa disentralisasikan oleh satu kekuatan besar. Hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat Sunda yang cenderung sebagai peladang. Dengan perbedaan kondisi sosial ini, kata Budi, masyarakat Sunda lebih punya kekuatan yang bersifat lokal. Kekuasaan terbagi secara lokal di beberapa wilayah. Budi menjelaskan, meskipun Sunda juga memiliki kerajaan besar, pola kekuasaannya tidak menganut sistem imperium, layaknya kerajaan besar di Jawa. Kepemimpinan kerajaan Sunda lebih terfokus pada penataan masyarakat ke dalam, bukan penaklukan keluar wilayah. “Kekuatan besar yang mampu menjatuhkan masyarakat itu tidak ada di Sunda, sehingga satuan politiknya lebih bersifat lokal,” tutur Budi. Hingga saat ini, representasi politik Sunda masih rendah secara nasional. Padahal, kata Budi, orang Sunda kecenderungannya lebih punya visi politik yang populis. Hanya saja, orientasinya lebih lokal, tidak kosmopolitan. “Konsekuensinya, politiknya kepemimpinan Sunda memang sulit berbicara pada tingkat nasional karena orientasi kepemimpinannya lebih tetap bersifat lokal, tidak luas atau kosmopolis. Populis, tetapi orang Sunda tidak bisa membangun kekuatan populis yang kosmopolis,” papar Budi. Sementara itu, Dosen Psikologi Unpad Dr. Yus Nugraha, mengatakan, nilai-nilai kesundaan menjadi modal bagi orang Sunda untuk bisa menjadi pemimpin. Nilai-nilai seperti cageur, bener, bageur, pinter, dan singer merupakan nilai jati diri Sunda yang mampu memberikan sumbangsih bagi pembangunan karakter bangsa. Webinar tersebut juga menghadirkan dua pembicara lainnya, yaitu perwakilan Badan Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat Ani Rostiyati dan Dosen Ilmu Politik Unpad Dr. Husin Al-Banjari, Kehidupandi Kerajaan Galuh Kehidupan Politik kerajaan Galuh. Kehidupan politik di kerajaan ini tidak lepas dari berbagai perpecahan dan penyatuan kerajaan, yakni antara kerajaan sunda dan juga galuh. Setelah disatukan oleh Sanjaya, kerajaan tersebut pecah kembali di tahun 739 M menjadi kerajaan Galuh dan Sunda, dipecah untuk anak Panaraban. Di wilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Dalam Prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung Merapi berserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di Galuh. Beberapa waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya Rahyang Tamperan. Sampai sekarang para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya di dalam Prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya di dalam kitab Carita Parahyangan. a. Kehidupan Politik Dalam waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke-11 1030 ketika di bawah pemerintahan Maharaja SriJayabhupati. Nama Maharaja Sri Jayabhupati terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang di tepi Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952Saka 1030 M, berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Isinya, antara lainmenyebutkan bahwa Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwana Mandalesrananindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sunda. Prasasti Sanghyang Tapak juga berisi pembuatan daerah terlarangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah itu berupa sebagian dari sungai yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa Kerajan Sunda. Di daerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Orang yang terkena kutukan sangat mengerikan karena akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya, mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidakpunah. Berdasarkan gelar yang digunakannya, menunjukkan ada kesamaannya dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu, masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun, Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Dengan demikian jelas bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan Airlangga. Pada masa pemerintahan Sri Jayabhuptai, pusat Kerajaan Sunda ialah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi, tidak lama kemudian pusat kerajaanya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat denganGaluh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa Sanjaya. Agama yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Waisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya, yaitu Wisnumurti Agama yang sama juga dianut oleh Airlangga. Dengan , ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu Waisnawa. Setelah masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di Kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh RajaMajapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda bersama para pengiringnya datang ke Majaphit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda takhluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksanakan kehendaknya, sebab Kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti, Sumpah Palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, Raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Sunda. Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajah Mada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama putri Dyah Pitaloka dan para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan calon istrinya membuat Raja Hayam Wuruk marah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Mahapatih Majapahit. Sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada retak. Prabu Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Nsikala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi Perang Bubat, Wastukancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit sehingga selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastukancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357–1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai denganundang-undang dan taat pada agamanya. Oleh karena itu, kerajaannya aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371–1471. Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471–1478. Setelah itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482–1521. Pada Prasasti Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada Prasasti Batu Tulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra Ningrat Kancana. Di bawahpemerintahan Sang Ratu Jayadewata, Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit di sekeliling ibu kota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tenteram, dan sejahtera. Sang Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada di bawah kekuasaan tahun 1522, perutusan Portugis di bawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahlisama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521–1535. Jika hal itu benar maka pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa Ratu Samiam masih menjadi putra mahkota. Pada masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentaraIslam berusaha merebut ibu kota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu per satu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten sehingga Raja Sunda terpaksa bertahan di Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535–1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan kitab Purwaka Caruban Nagari yang berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Islam. Ratu Dewata kemudian digantikan oleh Sang Ratu Saksi 1543–1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551–1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir Kerajaan Sunda ialah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Barat. b. Kehidupan Sosial Ekonomi Berdasarkan kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut. 1 Kelompok Rohani dan Cendekiawan Kelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan di bidang tertentu. Misalnya, brahmana yang mengentahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, dan janggan yang mengetahui berbagai macam pemujaan, memen yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita pantun. 2 Kelompok Aparat Pemerintah Kelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, dan hulu jurit kepala prajurit. 3 Kelompok Ekonomi Kelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya, juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan. Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasaan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhanpelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan. Di samping kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya, pahuma paladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindahpindah. Hal ini menjadi salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat kerajaan Sunda. Selain bertani, kehidupan masyarakat kerajaan Sunda juga berdagang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya enam buah kota bandar yang cukup penting dan ramai dikunjungi para pedangan dari berbagai daerah atau bangsa lain. Melalui keenam bandar tersebut, dilakukan usaha perdagangan dengan pihak luar. c. Kehidupan Budaya Kehidupan masyarakat Kerajaan Sunda adalah peladang sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi, dan prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat. Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tertulis maupun lisan. Bentuk sastra tertulis, misalnya kitab Carita Parahyangan, sedangkan bentuk sastra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Siliwangi Raja-Raja Kerajaan Sunda Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta waktu berkuasa dalam tahun Masehi 1. Tarusbawa menantu Linggawarman, 669 – 723 2. Harisdarma, atawa Sanjaya menantu Tarusbawa, 723 – 732 3. Tamperan Barmawijaya 732 – 739 4. Rakeyan Banga 739 – 766 5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766 – 783 6. Prabu Gilingwesi menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795 7. Pucukbumi Darmeswara menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819 8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon 819 – 891 9. Prabu Darmaraksa adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895 10. Windusakti Prabu Déwageng 895 – 913 11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi 913 – 916 12. Rakeyan Jayagiri menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942 13. Atmayadarma Hariwangsa 942 – 954 14. Limbur Kancana putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964 15. Munding Ganawirya 964 – 973 16. Rakeyan Wulung Gadung 973 – 989 17. Brajawisésa 989 – 1012 18. Déwa Sanghyang 1012 – 1019 19. Sanghyang Ageng 1019 – 1030 20. Sri Jayabupati Detya Maharaja, 1030 – 1042 21. Darmaraja Sang Mokténg Winduraja, 1042 – 1065 22. Langlangbumi Sang Mokténg Kerta, 1065 – 1155 23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155 – 1157 24. Darmakusuma Sang Mokténg Winduraja, 1157 – 1175 25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175 – 1297 26. Ragasuci Sang Mokténg Taman, 1297 – 1303 27. Citraganda Sang Mokténg Tanjung, 1303 – 1311 28. Prabu Linggadéwata 1311-1333 29. Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350 31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357 32. Prabu Bunisora 1357-1371 33. Prabu Niskalawastukancana 1371-1475 34. Prabu Susuktunggal 1475-1482 35. Jayadéwata Sri Baduga Maharaja, 1482-1521 36. Prabu Surawisésa 1521-1535 37. Prabu Déwatabuanawisésa 1535-1543 38. Prabu Sakti 1543-1551 39. Prabu Nilakéndra 1551-1567 40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana 1567-1579 Peninggalan Kerajaan Sunda 1. Prasasti Cikapundung Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14. Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti tersebut. Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung. 2. Prasasti Pasir Datar Prasasti Pasir Datar ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar, Cisande, Sukabumi pada tahun 1872 . Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti yang terbuat dari batu alah ini hingga kini belum ditranskripsi sehingga belum diketahui isinya. 3. Prasasti Huludayeuh Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang – Cirebon. Penemuan Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September 1991. Isi Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya. 4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk “Raja Samian” maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda. Prasasti ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis. Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat sekarang Jalan Cengkeh dan Groenestraat Jalan Kali Besar Timur I, sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta 5. Prasasti Ulubelu Prasasti Ulubelu adalah salah satu dari prasasti yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sunda dari abad ke-15 M, yang ditemukan di Ulubelu, Desa Rebangpunggung, Kotaagung,Lampung pada tahun ditemukan di daerah lampung Sumatera bagian selatan, ada sejarawan yang menganggap aksara yang digunakan dalam prasasti ini adalah aksara Sunda Kuno, sehingga prasasti ini sering dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Anggapan sejarawan tersebut didukung oleh kenyataan bahwa wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga wilayah Lampung. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten. Isi prasasti berupa mantra permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru Siwa, Brahma, dan Wisnu, serta selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh. 6. Prasasti Kebon Kopi II Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama. Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, menyatakan seorang “Raja Sunda menduduki kembali tahtanya” dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I Prasasti Tapak Gajah. 7. Situs Karangkamulyan Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara. Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar. Batu-batu yang ada di dalam struktur bangunan ini memiliki nama dan menyimpan kisahnya sendiri, begitu pula di beberapa lokasi lain yang berada di luar struktur batu. Masing-masing nama tersebut merupakan pemberian dari masyarakat yang dihubungkan dengan kisah atau mitos tentang kerajaan Galuh seperti pangcalikan atau tempat duduk, lambang peribadatan, tempat melahirkan, tempat sabung ayam dan Cikahuripan. Penelusuran yang terkait dengan Kerajaan Sunda kerajaan sunda pajajaran raja kerajaan sunda kehidupan politik kerajaan sunda kerajaan sunda galuh raja-raja kerajaan sunda raja terkenal kerajaan sunda peristiwa penting kerajaan sunda kerajaan sunda empire Daftar Pustaka Ari Listiyani, Dwi. 2009. Sejarah untuk kelas X. Jakarta. Erlangga. 2007. Sejarah untuk SMA/MA kelas X. Jakarta. Erlangga Masapemerintahan Hasanuddin, Banten berkembang menjadi pusat perdagangan di Selat Sunda, beliau juga memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada di Sumatera. Maulana Hasanuddin digantikan oleh putranya yang bernama Maulana Yusuf di tahun 1570-1580, dibawah kekuasaaannya wilayah Banten menjadi lebih luas dengan menaklukkan Kerajaan Ilustrasi Kerajaan Demak. Sumber Charl Durand/ Demak berlokasi di pesisir Pantai Utara, lebih tepatnya berada di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kehidupan politik Kerajaan Demak tidak bisa terlepas dari peran Wali Demak mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika dipimpin oleh Sultan Trenggono. Sayangnya, kerajaan ini tidak berkuasa cukup lama sebab mengalami keruntuhan akibat perang saudara. Agar semakin jelas, simak ulasan di bawah ini!Kehidupan Politik Kerajaan DemakIlustrasi Kerajaan Demak. Sumber Serg Alesenko/ Komang Ayu Astiti dalam buku Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara Abad XIII – XVII dalam Pembangunan Pariwisata Daerah menjelaskan bahwa Kerajaan Demak adalah salah satu kerajaan Islam di abad berdiri menjadi kerajaan, awalnya Demak adalah Kadipaten Glagahwangi dan berada di bawah kekuasaan Majapahit. Kemudian, pada tahun 1478 bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit, Kadipaten Glagahwangi berusaha memisahkan itu, Raden Patah, putra Prabu Brawijaya V, mendirikan kerajaan baru dan dikenal sebagai Kerajaan Demak. Dalam kondisi demikian, bisa dikatakan bahwa Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1481 dengan memanfaatkan kondisi Kerajaan Majapahit yang berdirinya Kerajaan Demak erat kaitannya dengan Wali Songo. Sebab, tidak lama setelah berdiri Kerajaan Demak, dibangunlah Masjid Agung Demak atas bantuan Wali hanya itu, Wali Songo juga menjadi penasihat Kerajaan Demak. Misalnya, Sunan Kudus yang berperan sebagai penasihat kerajaan sekaligus sebagai hakim Kalijaga juga mempunyai peran memberikan corak kepemimpinan dan mengatur dalam hidup bernegara. Atas dukungan inilah, Kerajaan Demak berpengaruh sangat kuat di tengah masyarakat Kerajaan Demak tidak hanya sebagai bukti revolusi sistem kepemimpinan di tanah Jawa, tetapi juga kelanjutan pola kepemimpinan secara masa Kerajaan Demak, jiwa bebas, musyawarah, dan kebersamaan adalah ciri kepemimpinan Islam yang dianut. Selama berdiri, kerajaan ini menjalankan diplomasi perkawinan dalam menyelesaikan pergolakan politik dan juga untuk meluaskan Kerajaan DemakKeruntuhan Kerajaan Demak bermula ketika Sultan Trenggono wafat pada tahun 1546. Setelah kematiannya, terjadi perebutan kekuasaan dan terjadilah perang Sekar Sedolepen seharusnya menjadi pewaris takhta, namun dibunuh oleh Sunan Prawoto. Selanjutnya, Arya Penangsang, putra Pangeran Sekar Sedolepen, balas dendam dan berhasil membunuh Sunan Prawoto dan para Arya Penangsang dikalahkan oleh Jaka Tingkir yang merupakan Adipati Pajang serta menantu dari Sultan Trenggono. Pada masa inilah, Kerajaan Demak mengalami keruntuhan dan mulailah pemerintahan di bawah kekuasaan Kerajaan penjelasan tentang kehidupan politik Kerajaan Demak serta keruntuhannya yang perlu diketahui. Semoga bermanfaat! ek . 143 199 401 223 118 120 288 321

kehidupan politik kerajaan sunda